Potret Perjalanan Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian, THL TBPP Menuju Kejelasan Status Kepegawaiannya
Pengantar
Memasuki tahun anggaran 2013 bagi para THL TBPP ibarat pengelana yang telah menempuh perjalanan cukup jauh. Banyak pengalaman dan suka duka yang telah dijalani dan dirasakan yang kesemuanya mesti dianggap dan dimaknai positif bagi sebuah proses pembentukan jati diri komunitas. Sebuah perjalanan – apalagi dengan rute yang panjang – tak ubahnya seperti lika liku perjalanan aliran sungai.
Anak-anak sungai itu seperti seseorang atau barisan orang-orang yang berjalan menurun menyusuri lekuk bentang perbukitan. Adalah karakter dasar kumpulan air untuk mengalir menuju (dan mencari) tempat-tempat yang lebih rendah. Kadang ia mengalir datar dan lurus, seringkali berkelok mengikuti liukan relief atau kontur permukaan bumi. Dari perbukitan pegunungan anak-anak sungai itu bertemu sesamanya di lembah ngarai lalu menyatu dalam aliran yang lebih besar dan disebut cabang-cabang sungai. Berikutnya cabang-cabang sungai ini membentuk aliran yang lebih besar lagi dan disebut sungai utama. Sungai-sungai utama inilah yang mengalir melintasi hamparan luas membentang untuk kemudian tiba di muara tepian laut.
Fenomena aliran sungai di atas telah dilukiskan dalam cita rasa seni yang apik oleh Sang Maestro penggubah lagu, mendiang Gesang untuk mengilustrasikan komposisi lagu Bengawan Solo. Kepopuleran lagu ini jauh melampaui panjang fisik sungai yang dilukiskan, bahkan terbang tinggi melintasi batas-batas negeri nusantara. Berikut cuplikan syairnya :
…
mata airmu dari Solo
terkurung gunung seribu
air meluap sampai jauh
dan akhirnya ke laut
itu perahu
riwayatnya dulu
kaum pedagang selalu
naik itu perahu
…
Lalu apa hubungan antara aliran sungai dengan proses kebijakan yang menjadi judul tulisan ini ? Ibarat sungai yang mengalir, sebuah produk kebijakan tidak serta merta lahir berdiri sendiri. Ibarat aliran sungai yang berawal dari titik-titik hulu, sebuah produk kebijakan pun memiliki hulu dan aliran proses kebijakan berupa dasar hukum peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebuah produk kebijakan pasti memiliki makna penting bahkan bisa menyangkut soal hidup mati pihak-pihak yang terkait dalam pengaturan kebijakan tersebut.
Salah satu produk kebijakan yang dikeluarkan pada awal periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I adalah perekrutan sekitar 25.000 (dua puluh lima ribu) tenaga kontrak penyuluh pertanian oleh Pemerintah Pusat c.q Kementerian Pertanian yang disebut Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP) pada rentang waktu tahun 2007 – 2009. Perekrutan petugas dalam jumlah besar ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan atau kebutuhan penyuluh pertanian PNS di daerah yang jumlahnya mengalami stagnasi, bahkan cenderung menyusut, pasca diterapkannnya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001.
Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP)
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya THL TBPP adalah penyuluh pertanian berstatus kontrak yang direkrut Pemerintah Pusat (Kementerian Pertanian) namun dalam menjalankan tupoksinya diperbantukan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota c.q satuan kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang membidangi penyuluhan pertanian. Singkatnya pengangkatan penyuluh kontrak ini oleh Pusat berdasar Surat Edaran Menpan dan SK Mentan yang diperbaharui tiap tahun anggaran sedang untuk penempatannya di daerah berdasarkan SK pejabat daerah yang berwenang atau SP pimpinan satuan kerja (SKPD) yang membidangi penyuluhan pertanian di kabupaten/kota. Berdasarkan SK atau SP penempatan tersebut THL TBPP menjalankan tugas dengan kewenangan yang sama dengan penyuluh pertanian PNS dalam pembinaan dan pendampingan kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) di desa-desa wilayah binaannya. Meskipun masa kontrak maksimal tiap tahun anggaran adalah 10 (sepuluh) bulan, mayoritas THL TBPP tetap bekerja pada 2 (dua) bulan tersisa dan pembayaran honor pada bulan-bulan di luar kontrak Pusat ini tergantung kebijakan pemerintah daerah setempat.
Hingga awal tahun anggaran 2013 para penyuluh kontrak ini telah mengabdi pada tugas-tugas pengawalan program pemerintah selama 6 (enam) tahun untuk THL TBPP Angkatan I (2007), 5 (lima) tahun untuk THL TBPP Angkatan II (2008), dan 4 (empat) tahun untuk THL TBPP Angkatan III (2009). Kini, dengan berbekal masa pengabdian tersebut para THL TBPP berharap ada kebijakan konkret dari Pemerintah Pusat untuk menaikkan status THL TBPP dari tenaga penyuluh kontrak menjadi pegawai tetap pemerintah di bidang penyuluhan pertanian (penyuluh pertanian PNS). Terkait hal ini, Undang-Undang Dasar 1945 telah menjamin keinginan dan harapan THL TBPP sebagai warga negara menyangkut terpenuhinya hak-hak dalam bekerja sebagai berikut : 1. Pasal 27 ayat (2) menyatakan, “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. 2. Pasal 28 D ayat (2) menyebut, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Atas dasar konsepsi konstitusional inilah para THL TBPP secara sadar menata perjuangan untuk mendapatkan kepastian status kepegawaiannya menjadi pegawai tetap pemerintah di bidang penyuluhan pertanian (penyuluh pertanian PNS).
Personil THL TBPP secara nasional hingga bulan Agustus 2012 berjumlah 23.216 orang dan tersebar di seluruh wilayah NKRI. Sejalan dengan landasan konstitusional lainnya yakni Pasal 28 C ayat (2) bahwa “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara”, maka para THL TBPP se-Indonesia ini secara sadar pula menghimpun dirinya dan membentuk organisasi komunitas dengan nama Forum Komunikasi Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (FK THL TBPP) pada lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Kembali pada filosofi aliran sungai di atas, muncul pertanyaan : pada hulu kebijakan apa perjuangan THL TBPP ini merujuk ?
Hulu Aliran Kebijakan I : Undang-Undang No. 16 Tahun 2006
Setelah Pemerintah mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) pada tahun 2005, maka tahun berikutnya terbit Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UUSP3K). Dalam kerangka Undang-Undang ini kelembagaan penyuluhan terdiri dari kelembagaan penyuluhan pemerintah, kelembagaan penyuluhan pelaku utama dan kelembagaan penyuluhan swasta yang dikoordinasikan secara paralel pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota serta kecamatan. Lebih lanjut ditetapkan 3 (tiga) jenis penyuluh yaitu penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta.
Sementara itu berdasarkan data Kementerian Pertanian, keragaan tenaga penyuluh pertanian menunjukkan penurunan jumlah yang signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat dalam data Kementan bahwa jumlah pernyuluh pertanian pada tahun 1999 adalah sebanyak 37.636 orang, tahun 2001 sebanyak 33.659 orang, tahun 2005 sebanyak 25.708 orang ditambah penyuluh tenaga honorer sebanyak 1.634 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 24.908 orang.
Demi memenuhi amanat UUSP3K dan penjabaran program revitalisasi penyuluhan pertanian, maka Pemerintah Pusat (Kementerian Pertanian) melakukan perekrutan sekitar 6000 THL TBPP pada tahun 2007, sekitar 10.000 THL TBPP pada tahun 2008, dan sekitar 10.000 THL TBPP pada tahun 2009. Hingga bulan Agustus 2012 komposisi jumlah petugas penyuluh pertanian secara nasional adalah sebagai berikut : penyuluh pertanian PNS sebanyak 27.961 orang, penyuluh pertanian tenaga honorer sebanyak 1.251 orang, penyuluh pertanian THL TBPP sebanyak 23.216 orang dan penyuluh pertanian swadaya sebanyak 8.107 orang. Keseluruhan petugas penyuluh sebanyak 60.535 orang ini menyebar pada wilayah yang terdiri dari 72.143 desa se-Indonesia. Jika penyuluh swadaya tidak dihitung karena keterkaitan tugasnya yang bersifat partisipatif maka se-Indonesia masih kekurangan sebanyak 19.715 orang petugas yang bertugas dengan tupoksi seperti Penyuluh Pertanian PNS untuk memenuhi komposisi 1 petugas : 1 desa. Namun jika acuannya adalah kekurangan penyuluh berkualifikasi PNS maka se-Indonesia masih kekurangan petugas sebanyak 72.143 desa dikurangi 27.961 penyuluh petanian PNS : 44.182 orang penyuluh pertanian PNS.
UUSP3K telah membagi secara tegas penyuluh pertanian yang terdiri dari penyuluh pertanian PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta. Berdasarkan ketentuan, THL TBPP bukan penyuluh swadaya maupun swasta karena penyelenggaraan, tata laksana serta pembiayaan honor dan BOP mereka dikelola dan ditanggung oleh Negara. Tetapi THL TBPP juga bukan penyuluh pertanian PNS, karena mereka berstatus tenaga kontrak dan tidak memiliki NIP. Oleh karena itu berdasarkan batasan jenis penyuluh menurut UUSP3K keberadaan dan peran THL TBPP ini perlu dipandang dan diposisikan sebagai petugas pengisi kekurangan atau kekosongan dan bersifat sementara (transisional) ketika penyuluh pertanian PNS belum atau tidak tersedia. Namun satu hal yang pasti adalah mereka menjalankan kewajiban dengan tupoksi dan lingkup kerja yang sama dengan penyuluh pertanian PNS.
UUSP3K juga mengamanatkan pengangkatan dan penempatan penyuluh pertanian PNS (Pasal 20 ayat 2) dengan penekanan bahwa pengangkatan penyuluh pertanian PNS harus mendapat prioritas oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mencukupi kebutuhan tenaga penyuluh PNS (penjelasan Pasal 20 ayat 2).
Hulu Aliran Kebijakan II : Undang-Undang No. 43 Tahun 1999
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 sebagai Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian telah mengamanatkan pengangkatan menjadi PNS secara langsung bagi tenaga-tenaga yang telah bekerja pada instansi yang menunjang kepentingan nasional melalui pengaturan lebih teknis dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Pasal 16 A). Untuk menjalankan amanat ini maka Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah N0. 43 Tahun 2007 (PP Perubahan Pertama), dan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012 (PP Perubahan Kedua).
Pengertian atau batasan dasar dari Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 adalah sederhana, jernih dan gamblang. Pasal 16 A Ayat 1 : untuk memperlancar pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pemerintah dapat mengangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagi mereka yang telah bekerja pada instansi yang menunjang kepentingan nasional. Penjelasan Pasal 16 A Ayat 1 : persyaratan, tata cara, dan pengangkatan langsung menjadi PNS dilaksanakan secara sangat selektif bagi mereka yang dipandang telah berjasa dan diperlukan bagi Negara.
Bagaimana Peraturan Pemerintah dengan 2 (dua) kali perubahan di atas menterjemahkan isi kandungan Pasal 16 A beserta penjelasannya ? Berikut ini uraian ringkasan dasar pertimbangan ketiga PP dalam mengatur mekanisme pengangkatan menjadi PNS bagi tenaga-tenaga yang memenuhi pengertian Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 tersebut :
Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2005
PP No. 48 Tahun 2005 dirancang dan dirumuskan untuk mengatur mekanisme pengangkatan langsung menjadi PNS bagi tenaga-tenaga yang memenuhi ketentuan Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 yang dalam kaitan ini disebut tenaga honorer. Ada 2 (dua) ketentuan utama yang dijadikan dasar pertimbangan pengangkatan tersebut : (1) bahwa untuk kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan terdapat pejabat instansi pemerintah mengangkat tenaga tertentu sebagai tenaga honorer, dan (2) bahwa tenaga honorer yang telah lama bekerja dan atau tenaganya sangat dibutuhkan oleh Pemerintah dan memenuhi syarat yang ditentukan dalam PP ini dapat diangkat menjadi PNS.
Pengertian yang terkandung dalam ketentuan pertimbangan tersebut adalah : (1) adanya pengakuan terhadap realitas bahwa demi kebutuhan memperlancar pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan terdapat pejabat instansi pemerintah yang mengangkat tenaga tertentu sebagai tenaga honorer, dan (2) bahwa tenaga-tenaga tersebut telah lama bekerja (pada masa waktu tertentu) DAN ATAU sangat dibutuhkan oleh Pemerintah, yang berarti memenuhi salah satu atau dua-duanya baik ketentuan masa waktu tertentu maupun ketentuan sangat dibutuhkan.
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2007
PP No. 43 Tahun 2007 adalah PP perubahan pertama atas PP No. 48 Tahun 2005. Pengaturan pada PP perubahan ini berpijak pada dasar pertimbangan bahwa berdasarkan hasil evaluasi, beberapa ketentuan mengenai batas usia dengan masa kerja, proses seleksi dan ketentuan lain pada PP No. 48 Tahun 2005 belum dapat dapat menyelesaikan (secara tuntas) pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Untuk itu PP ini telah mengubah beberapa ketentuan terkait pada PP No. 48 Tahun 2005. Namun demikian perubahan tersebut tidak sampai mengubah ketentuan dalam konsideran menimbang PP yang pertama.
Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012
PP No. 56 Tahun 2012 adalah PP perubahan kedua atas PP No. 48 Tahun 2005. Pada bagian pertimbangan PP ini juga menegaskan bahwa dalam implementasi PP perubahan pertama hingga tahun 2009 masih terdapat tenaga honorer yang memenuhi PP No. 48 Tahun 2005 juncto PP No. 43 Tahun 2007 tetapi belum diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Seperti pada PP No. 43 Tahun 2007, perubahan yang dilakukan pada PP No. 56 Tahun 2012 tidak sampai mengubah ketentuan pada konsideran menimbang baik pada PP No. 48 Tahun 2005 maupun pada PP No. 43 Tahun 2007, dengan kata lain ketentuan-ketentuan menimbang pada kedua PP sebelumnya tersebut masih berlaku.
Implementasi Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012
PP No. 56 Tahun 2012 telah menetapkan 4 (empat) kategori tenaga yang memenuhi Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 untuk diangkat menjadi CPNS melalui mekanisme pengangkatan tersendiri. Keempat kategori tersebut adalah : (1) tenaga honorer yang dibiayai dari APBN dan APBD (Kategori I atau K1), (2) tenaga honorer yang dibiayai bukan dari APBN dan APBD (Kategori II atau K2), (3) tenaga dokter yang mengabdi pada daerah terpencil dengan syarat : a. Usia paling tinggi 46 tahun; dan b. Bersedia bekerja pada fasilitas pelayanan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau tempat yang tidak diminati paling singkat 5 (lima) tahun, dan (4) tenaga ahli tertentu/khusus yang dibutuhkan oleh negara tapi tidak tersedia di kalangan PNS dengan syarat : a. Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun; dan b. Telah mengabdi kepada negara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun pada 1 Januari 2006.
Mekanisme pengangkatan pada masing-masing kategori diatur lebih lanjut pada Permenpan No. 233 Tahun 2012 sebagai perubahan atas Permenpan No. 197 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan CPNS Bagi Jabatan yang Dikecualikan dalam Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Pada Lampiran Permenpan 233 Tahun 2012 Bagian IV tentang Penyelesaian Tenaga Honorer, Dokter pada Daerah Terpencil dan Tenaga Ahli Tertentu/Khusus ditetapkan pengaturan sebagai berikut : (1) Untuk Tenaga Honorer K1 : pengangkatan menjadi CPNS melalui mekanisme Verifikasi dan Validasi Data, (2) Untuk Tenaga Honorer K2 : melalui mekanisme Test Tulis Kompetensi Dasar dan Kompetensi Bidang di antara sesama Tenaga Honorer K2, (3) Untuk Tenaga Dokter pada Daerah Terpencil : melalui mekanisme Alokasi Formasi Khusus, dan (4) Untuk Tenaga Ahli Tertentu/Khusus : melalui mekanisme penerbitan Kepres.
Nah, setelah jelas aliran kebijakannya sampai pada titik ini maka sejumlah pertanyaan kemudian muncul : Apakah PP No. 56 Tahun 2012 sebagai PP Perubahan Kedua atas PP No. 48 Tahun 2005 telah dapat menjawab atau menyelesaikan dengan tuntas persoalan tenaga-tenaga yang bekerja dan memenuhi Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 sebagai hulu aliran kebijakan di atas ? Apakah dasar-dasar pertimbangan di dalam ketentuan menimbang pada PP No. 56 Tahun 2012 telah memenuhi azas pendekatan komprehensif dan menyeluruh sesuai batas waktu evaluasinya yakni tahun 2009 ? Bagaimana dengan tenaga-tenaga yang telah mengabdi pada kepentingan program pemerintah tapi diangkat sebagai tenaga non PNS pada pasca tahun 2005 dan sebelum atau hingga tahun 2009 ? Bagaimana dengan 23.216 jiwa THL TBPP yang termasuk dalam kelompok terakhir tapi memenuhi batasan dasar sebagai “tenaga ahli tertentu/khusus yang dibutuhkan oleh negara tapi tidak tersedia atau tidak cukup tersedia (masih kekurangan) di kalangan PNS” – sesuai batasan dalam Permenpan No. 233 Tahun 2012 ?
Interpretasi Secara Umum Keterkaitan Aliran Kebijakan Dengan Peluang THL TBPP
Hingga saat ini Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 hingga saat ini masih sah berlaku. Dengan demikian Pasal 16 A sebagai bagian dari substansi UU No. 43 Tahun 1999 masih tetap menjadi landasan legal bagi peraturan-peraturan pelaksana di bawahnya yang menyangkut pengangkatan langsung menjadi PNS bagi tenaga-tenaga yang telah bekerja pada instansi pemerintah yang menunjang kepentingan nasional.
Deskripsi lengkap dan detil tentang rumusan fakta-fakta keberadaan, peran dan fungsi THL TBPP serta keterkaitannya dengan ketentuan-ketentuan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 hingga mekanisme pengangkatan dalam Permenpan No. 233 Tahun 2012 telah disusun dan menjadi dokumen kerja Tim Kajian Hukum Status Kepegawaian THL TBPP – FK THL TBPP NASIONAL. Untuk kepentingan kerja Tim dan demi kelancaran proses yang tengah dan akan berlangsung, tidak semua detil rumusan bisa diungkap ke ruang publik. Namun demikian, secara umum berdasarkan hasil kajian dengan pendekatan deskripsi tentang fakta-fakta mengenai THL TBPP dapat disimpulkan hal-hal umum sebagai berikut :
1. THL TBPP memenuhi substansi ketentuan Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 dan oleh karena itu tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa THL TBPP adalah salah satu pewaris sah pasal tersebut dan berhak untuk diakomodasi dalam pengaturan lebih teknis pada peraturan perundang-undangan di bawahnya
2. Pengangkatan dan keberadaan THL TBPP memenuhi ketentuan konsideran menimbang diktum huruf a pada PP No. 48 Tahun 2005 yang hingga PP perubahan kedua diterbitkan ketentuan ini masih berlaku
3. Masa kerja dan atau urgensi keberadaan THL TBPP memenuhi salah satu ketentuan konsideran menimbang diktum huruf b pada PP No. 48 Tahun 2005 yang hingga PP perubahan kedua diterbitkan ketentuan ini masih berlaku
4. Kesimpulan hasil evaluasi bahwa beberapa ketentuan mengenai batas usia dengan masa kerja, proses seleksi dan ketentuan lainnya belum dapat menyelesaikan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS – pada konsideran menimbang diktum huruf a PP No. 43 Tahun 2007 – berdasarkan hasil kajian Tim Kajian Hukum dipandang masih relevan untuk diterapkan pada dasar pertimbangan PP No. 56 Tahun 2012 dan diharapkan menjadi pintu masuk bagi pengaturan tenaga-tenaga yang memenuhi ketentuan Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 tapi direkrut setelah tahun 2005, termasuk bagi THL TBPP yang direkrut antara tahun 2007 – 2009.
5. Atas dasar kesimpulan Tim Kajian Hukum Status Kepegawaian THL TBPP – FK THL TBPP NASIONAL bahwa terdapat indikasi kejanggalan di dalam penetapan dasar-dasar pertimbangan pada PP No. 56 Tahun 2012 yang mengakibatkan munculnya ketentuan Pasal-Pasal tertentu yang tidak relevan untuk diterapkan karena tidak berbasis kondisi obyektif, maka Tim Kerja Kajian Hukum bersama-sama Tim Kerja lainnya di bawah koordinasi FK THL TBPP NASIONAL akan mengupayakan langkah-langkah yang dapat mendorong Pemerintah untuk dapat merevisi ketentuan-ketentuan yang dimaksud pada PP No. 56 Tahun 2012.
Perkembangan Pengawalan Pembahasan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN)
RUU ASN yang mulai dibahas di Komisi II DPR RI sejak kurang lebih setahun sempat menyita perhatian dan harapan para THL TBPP. Bahkan perwakilan THL TBPP pada tingkat Pusat pernah diterima langsung oleh Menteri PAN-RB di Kantor KemenPAN-RB, Jakarta. Saat itu beliau menjelaskan bahwa tenaga-tenaga seperti THL TBPP akan diproyeksikan untuk menempati unsur PTT Pemerintah di dalam pengaturan RUU ASN. Dengan harapan bahwa suatu saat setelah beberapa lama mengabdi menjadi PTT Pemerintah akan muncul mekanisme alih status menjadi PNS, maka teman-teman ini menerima dengan terbuka penjelasan Pak Menteri. Namun seiring berjalannya waktu setelah itu perkembangan pembahasan RUU ASN seperti timbul tenggelam dan sulit untuk diikuti sejauh mana perkembangannya. Pada paruh kedua Pebruari 2013 misteri itu sedikit terkuak. Situs resmi KemenPAN-RB memuat dokumen bertanggal 11 Januari 2013 yang berisi Daftar Isian Masalah (DIM) menyangkut perbedaan beberapa poin ketentuan antara Draft RUU ASN versi DPR RI dan Usulan RUU ASN versi Pemerintah.
Secara umum keseluruhan ketentuan di dalam RUU ASN kedua versi tidak tersirat pengaturan rekrutmen khusus bagi tenaga-tenaga tertentu. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pak Menteri PAN-RB di atas bahwa tenaga-tenaga tertentu yang tidak tertampung di dalam PP No. 56 Tahun 2012 akan diarahkan untuk menjadi PTT Pemerintah (istilah dalam RUU ASN versi DPR RI) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK, istilah dalam RUU ASN versi Pemerintah). Nah, yang cukup mengejutkan adalah di RUU ASN versi Pemerintah terselip Pasal 99 A yang menegaskan bahwa PPPK tidak akan diangkat menjadi PNS. Dengan demikian dalam kehendak Pemerintah sudah jelas bahwa PPPK merupakan pegawai tidak tetap dengan status permanen.
Sikap dan Langkah FK THL TBPP NASIONAL Pasca Rakor Yogyakarta, 9 Maret 2013
Menyikapi ketidakjelasan perkembangan terakhir dan merespon dinamika berkembang di kalangan THL TBPP yang menghendaki percepatan langkah, maka FK THL TBPP mengadakan Rapat Koordinasi di Yogyakarta pada tanggal 9 Maret 2013. Rakor ini berhasil menyepakati pembentukan Tim-Tim Kerja dengan fokus dan lingkup kerja masing-masing dengan tetap di bawah koordinasi. Sejak saat itu hingga saat ini dan ke depan Tim-Tim telah dan akan terus bekerja dan saling berkoordinasi. Perkembangan terakhir arah perkembangan kerja Tim-Tim ini telah menyepakati 3 (tiga) hal :
1. Memperjuangkan implementasi amanat Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UUSP3K) khususnya yang menyangkut penetapan jenis-jenis penyuluh pertanian dan perihal pengangkatan dan penempatan penyuluh PNS yakni Pasal 20 ayat 2 beserta penjelasannya.
2. Memperjuangkan implementasi amanat Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Pasal 16 A dengan berpijak pada kondisi obyektif dan mencerminkan keadilan sesuai dengan perkembangan mutakhir dengan mendorong revisi terhadap beberapa ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012 yang menghalangi terakomodasinya tenaga-tenaga yang dibutuhkan oleh Negara tapi tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di kalangan PNS - yang direkrut setelah tahun 2005.
3. Memperjuangkan THL TBPP melalui pendekatan terpadu dan saling melengkapi antar Tim Kerja agar komunitas tenaga penyuluh kontrak ini mendapatkan ruang pengaturan untuk dapat diangkat menjadi Penyuluh Pertanian PNS melalui mekanisme kebijakan khusus seperti Kepres atau Perpres.
Harapan Kepada Pemerintah
Bagi siapa saja yang mengikuti dan mencermati sejarah keberadaan THL TBPP sejak awal direkrut pasti bersepakat bahwa para penyuluh berstatus kontrak ini adalah produk kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I yang kemudian tetap dilanjutkan hingga periode KIB II yang hampir memungkasi masa kerjanya pada tahun 2014. Sebuah produk kebijakan bisa dianggap berhasil salah satunya dari indikator bagaimana penanganan akhir terhadap produk dimaksud. Jelasnya, untuk THL TBPP adalah bagaimana Pemerintah c.q segenap Kementerian Terkait mampu secara terkoordinasi memberikan jalan penyelesaian terbaik terhadap masa depan THL TBPP setelah masa waktu Kabinet ini berakhir.
Dengan membaca peta aliran kebijakan yang telah dipaparkan di atas kita berharap agar Kementerian Pertanian, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara dan bahkan bila perlu Menko Perekonomian bisa berkordinasi dan bersinergi untuk memberi ruang dan kesempatan yang adil dan patut bagi pengaturan kejelasan status kepegawaian THL TBPP. Jika diperlukan kita sangat berharap Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dapat turun tangan untuk mendorong percepatan penanganan penyelesaian status kepegawaian THL TBPP. Bagaimanapun Bapak Presiden telah mengenal siapa THL TBPP dan telah pernah memberikan stressing khusus kepada Mentan dan MenPAN-RB untuk mengatur sebaik-baiknya penanganan pasca kontak bagi THL TBPP untuk status kerja yang lebih baik.
Tekad komunitas THL TBPP telah bulat untuk tetap dan terus mengawal implementasi UUSP3K dan Undang-Undang terkait demi tersambungnya generasi penyuluh pertanian yang kuat dan adaptif dengan perkembangan teknologi komunikasi mutakhir yang harus menjadi basis baru proses-proses penyebaran informasi dan teknologi kepada para pelaku (petani).
Harapan Kepada Segenap THL TBPP se-Indonesia
Paparan ini bagaimanapun juga perlu disampaikan – meski tidak seluruh detil – kepada teman-teman THL TBPP se-Indonesia untuk menyamakan persepsi dan pemahaman menyangkut peta problematika yang kita hadapi bersama untuk kemudian menjadi landasan pengaturan langkah bersama yang terkoordinasi.
Waktu efektif kita bersama dalam mengawal program-program Pemerintah di bidang pertanian tidak sampai 2 (dua) tahun penuh. Setelah itu apa yang akan terjadi dengan nasib kita selanjutnya tidak ada pihak yang berani menjamin. Kita semua ibarat anak panah yang terpasang pada busur dan dikendalikan oleh sepasang tangan. Kita tidak tahu pasti ke arah mana kita hendak dibidikkan. Oleh karena itu satu-satunya jalan bagi kita adalah mengupayakan langkah menjemput bola dengan pertimbangan sejauh masih dapat dilakukan baik dari aspek teknis, konsepsi maupun aspek dukungan lainnya. Ketika perwakilan teman-teman di tingkat Pusat (FK THL TBPP NASIONAL) dengan dukungan Tim-Tim Kerja yang telah dibentuk – telah berupaya maksimal merancang dan mengarahkan segenap potensi demi pencapaian sebuah tujuan – yakni tujuan besar kita bersama, maka kini terpulang kepada segenap THL TBPP se-Indonesia untuk memberikan dukungan penuh lewat koordinasi secara berjenjang dan struktural via FK THL TBPP Kabupaten/Kota dan FK THL TBPP Provinsi masing-masing.
Man jadda wa jadda.
Pengantar
Memasuki tahun anggaran 2013 bagi para THL TBPP ibarat pengelana yang telah menempuh perjalanan cukup jauh. Banyak pengalaman dan suka duka yang telah dijalani dan dirasakan yang kesemuanya mesti dianggap dan dimaknai positif bagi sebuah proses pembentukan jati diri komunitas. Sebuah perjalanan – apalagi dengan rute yang panjang – tak ubahnya seperti lika liku perjalanan aliran sungai.
Anak-anak sungai itu seperti seseorang atau barisan orang-orang yang berjalan menurun menyusuri lekuk bentang perbukitan. Adalah karakter dasar kumpulan air untuk mengalir menuju (dan mencari) tempat-tempat yang lebih rendah. Kadang ia mengalir datar dan lurus, seringkali berkelok mengikuti liukan relief atau kontur permukaan bumi. Dari perbukitan pegunungan anak-anak sungai itu bertemu sesamanya di lembah ngarai lalu menyatu dalam aliran yang lebih besar dan disebut cabang-cabang sungai. Berikutnya cabang-cabang sungai ini membentuk aliran yang lebih besar lagi dan disebut sungai utama. Sungai-sungai utama inilah yang mengalir melintasi hamparan luas membentang untuk kemudian tiba di muara tepian laut.
Fenomena aliran sungai di atas telah dilukiskan dalam cita rasa seni yang apik oleh Sang Maestro penggubah lagu, mendiang Gesang untuk mengilustrasikan komposisi lagu Bengawan Solo. Kepopuleran lagu ini jauh melampaui panjang fisik sungai yang dilukiskan, bahkan terbang tinggi melintasi batas-batas negeri nusantara. Berikut cuplikan syairnya :
…
mata airmu dari Solo
terkurung gunung seribu
air meluap sampai jauh
dan akhirnya ke laut
itu perahu
riwayatnya dulu
kaum pedagang selalu
naik itu perahu
…
Lalu apa hubungan antara aliran sungai dengan proses kebijakan yang menjadi judul tulisan ini ? Ibarat sungai yang mengalir, sebuah produk kebijakan tidak serta merta lahir berdiri sendiri. Ibarat aliran sungai yang berawal dari titik-titik hulu, sebuah produk kebijakan pun memiliki hulu dan aliran proses kebijakan berupa dasar hukum peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebuah produk kebijakan pasti memiliki makna penting bahkan bisa menyangkut soal hidup mati pihak-pihak yang terkait dalam pengaturan kebijakan tersebut.
Salah satu produk kebijakan yang dikeluarkan pada awal periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I adalah perekrutan sekitar 25.000 (dua puluh lima ribu) tenaga kontrak penyuluh pertanian oleh Pemerintah Pusat c.q Kementerian Pertanian yang disebut Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP) pada rentang waktu tahun 2007 – 2009. Perekrutan petugas dalam jumlah besar ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan atau kebutuhan penyuluh pertanian PNS di daerah yang jumlahnya mengalami stagnasi, bahkan cenderung menyusut, pasca diterapkannnya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001.
Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP)
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya THL TBPP adalah penyuluh pertanian berstatus kontrak yang direkrut Pemerintah Pusat (Kementerian Pertanian) namun dalam menjalankan tupoksinya diperbantukan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota c.q satuan kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang membidangi penyuluhan pertanian. Singkatnya pengangkatan penyuluh kontrak ini oleh Pusat berdasar Surat Edaran Menpan dan SK Mentan yang diperbaharui tiap tahun anggaran sedang untuk penempatannya di daerah berdasarkan SK pejabat daerah yang berwenang atau SP pimpinan satuan kerja (SKPD) yang membidangi penyuluhan pertanian di kabupaten/kota. Berdasarkan SK atau SP penempatan tersebut THL TBPP menjalankan tugas dengan kewenangan yang sama dengan penyuluh pertanian PNS dalam pembinaan dan pendampingan kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) di desa-desa wilayah binaannya. Meskipun masa kontrak maksimal tiap tahun anggaran adalah 10 (sepuluh) bulan, mayoritas THL TBPP tetap bekerja pada 2 (dua) bulan tersisa dan pembayaran honor pada bulan-bulan di luar kontrak Pusat ini tergantung kebijakan pemerintah daerah setempat.
Hingga awal tahun anggaran 2013 para penyuluh kontrak ini telah mengabdi pada tugas-tugas pengawalan program pemerintah selama 6 (enam) tahun untuk THL TBPP Angkatan I (2007), 5 (lima) tahun untuk THL TBPP Angkatan II (2008), dan 4 (empat) tahun untuk THL TBPP Angkatan III (2009). Kini, dengan berbekal masa pengabdian tersebut para THL TBPP berharap ada kebijakan konkret dari Pemerintah Pusat untuk menaikkan status THL TBPP dari tenaga penyuluh kontrak menjadi pegawai tetap pemerintah di bidang penyuluhan pertanian (penyuluh pertanian PNS). Terkait hal ini, Undang-Undang Dasar 1945 telah menjamin keinginan dan harapan THL TBPP sebagai warga negara menyangkut terpenuhinya hak-hak dalam bekerja sebagai berikut : 1. Pasal 27 ayat (2) menyatakan, “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. 2. Pasal 28 D ayat (2) menyebut, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Atas dasar konsepsi konstitusional inilah para THL TBPP secara sadar menata perjuangan untuk mendapatkan kepastian status kepegawaiannya menjadi pegawai tetap pemerintah di bidang penyuluhan pertanian (penyuluh pertanian PNS).
Personil THL TBPP secara nasional hingga bulan Agustus 2012 berjumlah 23.216 orang dan tersebar di seluruh wilayah NKRI. Sejalan dengan landasan konstitusional lainnya yakni Pasal 28 C ayat (2) bahwa “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara”, maka para THL TBPP se-Indonesia ini secara sadar pula menghimpun dirinya dan membentuk organisasi komunitas dengan nama Forum Komunikasi Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (FK THL TBPP) pada lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Kembali pada filosofi aliran sungai di atas, muncul pertanyaan : pada hulu kebijakan apa perjuangan THL TBPP ini merujuk ?
Hulu Aliran Kebijakan I : Undang-Undang No. 16 Tahun 2006
Setelah Pemerintah mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) pada tahun 2005, maka tahun berikutnya terbit Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UUSP3K). Dalam kerangka Undang-Undang ini kelembagaan penyuluhan terdiri dari kelembagaan penyuluhan pemerintah, kelembagaan penyuluhan pelaku utama dan kelembagaan penyuluhan swasta yang dikoordinasikan secara paralel pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota serta kecamatan. Lebih lanjut ditetapkan 3 (tiga) jenis penyuluh yaitu penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta.
Sementara itu berdasarkan data Kementerian Pertanian, keragaan tenaga penyuluh pertanian menunjukkan penurunan jumlah yang signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat dalam data Kementan bahwa jumlah pernyuluh pertanian pada tahun 1999 adalah sebanyak 37.636 orang, tahun 2001 sebanyak 33.659 orang, tahun 2005 sebanyak 25.708 orang ditambah penyuluh tenaga honorer sebanyak 1.634 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 24.908 orang.
Demi memenuhi amanat UUSP3K dan penjabaran program revitalisasi penyuluhan pertanian, maka Pemerintah Pusat (Kementerian Pertanian) melakukan perekrutan sekitar 6000 THL TBPP pada tahun 2007, sekitar 10.000 THL TBPP pada tahun 2008, dan sekitar 10.000 THL TBPP pada tahun 2009. Hingga bulan Agustus 2012 komposisi jumlah petugas penyuluh pertanian secara nasional adalah sebagai berikut : penyuluh pertanian PNS sebanyak 27.961 orang, penyuluh pertanian tenaga honorer sebanyak 1.251 orang, penyuluh pertanian THL TBPP sebanyak 23.216 orang dan penyuluh pertanian swadaya sebanyak 8.107 orang. Keseluruhan petugas penyuluh sebanyak 60.535 orang ini menyebar pada wilayah yang terdiri dari 72.143 desa se-Indonesia. Jika penyuluh swadaya tidak dihitung karena keterkaitan tugasnya yang bersifat partisipatif maka se-Indonesia masih kekurangan sebanyak 19.715 orang petugas yang bertugas dengan tupoksi seperti Penyuluh Pertanian PNS untuk memenuhi komposisi 1 petugas : 1 desa. Namun jika acuannya adalah kekurangan penyuluh berkualifikasi PNS maka se-Indonesia masih kekurangan petugas sebanyak 72.143 desa dikurangi 27.961 penyuluh petanian PNS : 44.182 orang penyuluh pertanian PNS.
UUSP3K telah membagi secara tegas penyuluh pertanian yang terdiri dari penyuluh pertanian PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta. Berdasarkan ketentuan, THL TBPP bukan penyuluh swadaya maupun swasta karena penyelenggaraan, tata laksana serta pembiayaan honor dan BOP mereka dikelola dan ditanggung oleh Negara. Tetapi THL TBPP juga bukan penyuluh pertanian PNS, karena mereka berstatus tenaga kontrak dan tidak memiliki NIP. Oleh karena itu berdasarkan batasan jenis penyuluh menurut UUSP3K keberadaan dan peran THL TBPP ini perlu dipandang dan diposisikan sebagai petugas pengisi kekurangan atau kekosongan dan bersifat sementara (transisional) ketika penyuluh pertanian PNS belum atau tidak tersedia. Namun satu hal yang pasti adalah mereka menjalankan kewajiban dengan tupoksi dan lingkup kerja yang sama dengan penyuluh pertanian PNS.
UUSP3K juga mengamanatkan pengangkatan dan penempatan penyuluh pertanian PNS (Pasal 20 ayat 2) dengan penekanan bahwa pengangkatan penyuluh pertanian PNS harus mendapat prioritas oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mencukupi kebutuhan tenaga penyuluh PNS (penjelasan Pasal 20 ayat 2).
Hulu Aliran Kebijakan II : Undang-Undang No. 43 Tahun 1999
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 sebagai Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian telah mengamanatkan pengangkatan menjadi PNS secara langsung bagi tenaga-tenaga yang telah bekerja pada instansi yang menunjang kepentingan nasional melalui pengaturan lebih teknis dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Pasal 16 A). Untuk menjalankan amanat ini maka Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah N0. 43 Tahun 2007 (PP Perubahan Pertama), dan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012 (PP Perubahan Kedua).
Pengertian atau batasan dasar dari Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 adalah sederhana, jernih dan gamblang. Pasal 16 A Ayat 1 : untuk memperlancar pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pemerintah dapat mengangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagi mereka yang telah bekerja pada instansi yang menunjang kepentingan nasional. Penjelasan Pasal 16 A Ayat 1 : persyaratan, tata cara, dan pengangkatan langsung menjadi PNS dilaksanakan secara sangat selektif bagi mereka yang dipandang telah berjasa dan diperlukan bagi Negara.
Bagaimana Peraturan Pemerintah dengan 2 (dua) kali perubahan di atas menterjemahkan isi kandungan Pasal 16 A beserta penjelasannya ? Berikut ini uraian ringkasan dasar pertimbangan ketiga PP dalam mengatur mekanisme pengangkatan menjadi PNS bagi tenaga-tenaga yang memenuhi pengertian Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 tersebut :
Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2005
PP No. 48 Tahun 2005 dirancang dan dirumuskan untuk mengatur mekanisme pengangkatan langsung menjadi PNS bagi tenaga-tenaga yang memenuhi ketentuan Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 yang dalam kaitan ini disebut tenaga honorer. Ada 2 (dua) ketentuan utama yang dijadikan dasar pertimbangan pengangkatan tersebut : (1) bahwa untuk kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan terdapat pejabat instansi pemerintah mengangkat tenaga tertentu sebagai tenaga honorer, dan (2) bahwa tenaga honorer yang telah lama bekerja dan atau tenaganya sangat dibutuhkan oleh Pemerintah dan memenuhi syarat yang ditentukan dalam PP ini dapat diangkat menjadi PNS.
Pengertian yang terkandung dalam ketentuan pertimbangan tersebut adalah : (1) adanya pengakuan terhadap realitas bahwa demi kebutuhan memperlancar pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan terdapat pejabat instansi pemerintah yang mengangkat tenaga tertentu sebagai tenaga honorer, dan (2) bahwa tenaga-tenaga tersebut telah lama bekerja (pada masa waktu tertentu) DAN ATAU sangat dibutuhkan oleh Pemerintah, yang berarti memenuhi salah satu atau dua-duanya baik ketentuan masa waktu tertentu maupun ketentuan sangat dibutuhkan.
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2007
PP No. 43 Tahun 2007 adalah PP perubahan pertama atas PP No. 48 Tahun 2005. Pengaturan pada PP perubahan ini berpijak pada dasar pertimbangan bahwa berdasarkan hasil evaluasi, beberapa ketentuan mengenai batas usia dengan masa kerja, proses seleksi dan ketentuan lain pada PP No. 48 Tahun 2005 belum dapat dapat menyelesaikan (secara tuntas) pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Untuk itu PP ini telah mengubah beberapa ketentuan terkait pada PP No. 48 Tahun 2005. Namun demikian perubahan tersebut tidak sampai mengubah ketentuan dalam konsideran menimbang PP yang pertama.
Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012
PP No. 56 Tahun 2012 adalah PP perubahan kedua atas PP No. 48 Tahun 2005. Pada bagian pertimbangan PP ini juga menegaskan bahwa dalam implementasi PP perubahan pertama hingga tahun 2009 masih terdapat tenaga honorer yang memenuhi PP No. 48 Tahun 2005 juncto PP No. 43 Tahun 2007 tetapi belum diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Seperti pada PP No. 43 Tahun 2007, perubahan yang dilakukan pada PP No. 56 Tahun 2012 tidak sampai mengubah ketentuan pada konsideran menimbang baik pada PP No. 48 Tahun 2005 maupun pada PP No. 43 Tahun 2007, dengan kata lain ketentuan-ketentuan menimbang pada kedua PP sebelumnya tersebut masih berlaku.
Implementasi Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012
PP No. 56 Tahun 2012 telah menetapkan 4 (empat) kategori tenaga yang memenuhi Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 untuk diangkat menjadi CPNS melalui mekanisme pengangkatan tersendiri. Keempat kategori tersebut adalah : (1) tenaga honorer yang dibiayai dari APBN dan APBD (Kategori I atau K1), (2) tenaga honorer yang dibiayai bukan dari APBN dan APBD (Kategori II atau K2), (3) tenaga dokter yang mengabdi pada daerah terpencil dengan syarat : a. Usia paling tinggi 46 tahun; dan b. Bersedia bekerja pada fasilitas pelayanan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau tempat yang tidak diminati paling singkat 5 (lima) tahun, dan (4) tenaga ahli tertentu/khusus yang dibutuhkan oleh negara tapi tidak tersedia di kalangan PNS dengan syarat : a. Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun; dan b. Telah mengabdi kepada negara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun pada 1 Januari 2006.
Mekanisme pengangkatan pada masing-masing kategori diatur lebih lanjut pada Permenpan No. 233 Tahun 2012 sebagai perubahan atas Permenpan No. 197 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan CPNS Bagi Jabatan yang Dikecualikan dalam Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Pada Lampiran Permenpan 233 Tahun 2012 Bagian IV tentang Penyelesaian Tenaga Honorer, Dokter pada Daerah Terpencil dan Tenaga Ahli Tertentu/Khusus ditetapkan pengaturan sebagai berikut : (1) Untuk Tenaga Honorer K1 : pengangkatan menjadi CPNS melalui mekanisme Verifikasi dan Validasi Data, (2) Untuk Tenaga Honorer K2 : melalui mekanisme Test Tulis Kompetensi Dasar dan Kompetensi Bidang di antara sesama Tenaga Honorer K2, (3) Untuk Tenaga Dokter pada Daerah Terpencil : melalui mekanisme Alokasi Formasi Khusus, dan (4) Untuk Tenaga Ahli Tertentu/Khusus : melalui mekanisme penerbitan Kepres.
Nah, setelah jelas aliran kebijakannya sampai pada titik ini maka sejumlah pertanyaan kemudian muncul : Apakah PP No. 56 Tahun 2012 sebagai PP Perubahan Kedua atas PP No. 48 Tahun 2005 telah dapat menjawab atau menyelesaikan dengan tuntas persoalan tenaga-tenaga yang bekerja dan memenuhi Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 sebagai hulu aliran kebijakan di atas ? Apakah dasar-dasar pertimbangan di dalam ketentuan menimbang pada PP No. 56 Tahun 2012 telah memenuhi azas pendekatan komprehensif dan menyeluruh sesuai batas waktu evaluasinya yakni tahun 2009 ? Bagaimana dengan tenaga-tenaga yang telah mengabdi pada kepentingan program pemerintah tapi diangkat sebagai tenaga non PNS pada pasca tahun 2005 dan sebelum atau hingga tahun 2009 ? Bagaimana dengan 23.216 jiwa THL TBPP yang termasuk dalam kelompok terakhir tapi memenuhi batasan dasar sebagai “tenaga ahli tertentu/khusus yang dibutuhkan oleh negara tapi tidak tersedia atau tidak cukup tersedia (masih kekurangan) di kalangan PNS” – sesuai batasan dalam Permenpan No. 233 Tahun 2012 ?
Interpretasi Secara Umum Keterkaitan Aliran Kebijakan Dengan Peluang THL TBPP
Hingga saat ini Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 hingga saat ini masih sah berlaku. Dengan demikian Pasal 16 A sebagai bagian dari substansi UU No. 43 Tahun 1999 masih tetap menjadi landasan legal bagi peraturan-peraturan pelaksana di bawahnya yang menyangkut pengangkatan langsung menjadi PNS bagi tenaga-tenaga yang telah bekerja pada instansi pemerintah yang menunjang kepentingan nasional.
Deskripsi lengkap dan detil tentang rumusan fakta-fakta keberadaan, peran dan fungsi THL TBPP serta keterkaitannya dengan ketentuan-ketentuan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 hingga mekanisme pengangkatan dalam Permenpan No. 233 Tahun 2012 telah disusun dan menjadi dokumen kerja Tim Kajian Hukum Status Kepegawaian THL TBPP – FK THL TBPP NASIONAL. Untuk kepentingan kerja Tim dan demi kelancaran proses yang tengah dan akan berlangsung, tidak semua detil rumusan bisa diungkap ke ruang publik. Namun demikian, secara umum berdasarkan hasil kajian dengan pendekatan deskripsi tentang fakta-fakta mengenai THL TBPP dapat disimpulkan hal-hal umum sebagai berikut :
1. THL TBPP memenuhi substansi ketentuan Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 dan oleh karena itu tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa THL TBPP adalah salah satu pewaris sah pasal tersebut dan berhak untuk diakomodasi dalam pengaturan lebih teknis pada peraturan perundang-undangan di bawahnya
2. Pengangkatan dan keberadaan THL TBPP memenuhi ketentuan konsideran menimbang diktum huruf a pada PP No. 48 Tahun 2005 yang hingga PP perubahan kedua diterbitkan ketentuan ini masih berlaku
3. Masa kerja dan atau urgensi keberadaan THL TBPP memenuhi salah satu ketentuan konsideran menimbang diktum huruf b pada PP No. 48 Tahun 2005 yang hingga PP perubahan kedua diterbitkan ketentuan ini masih berlaku
4. Kesimpulan hasil evaluasi bahwa beberapa ketentuan mengenai batas usia dengan masa kerja, proses seleksi dan ketentuan lainnya belum dapat menyelesaikan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS – pada konsideran menimbang diktum huruf a PP No. 43 Tahun 2007 – berdasarkan hasil kajian Tim Kajian Hukum dipandang masih relevan untuk diterapkan pada dasar pertimbangan PP No. 56 Tahun 2012 dan diharapkan menjadi pintu masuk bagi pengaturan tenaga-tenaga yang memenuhi ketentuan Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 1999 tapi direkrut setelah tahun 2005, termasuk bagi THL TBPP yang direkrut antara tahun 2007 – 2009.
5. Atas dasar kesimpulan Tim Kajian Hukum Status Kepegawaian THL TBPP – FK THL TBPP NASIONAL bahwa terdapat indikasi kejanggalan di dalam penetapan dasar-dasar pertimbangan pada PP No. 56 Tahun 2012 yang mengakibatkan munculnya ketentuan Pasal-Pasal tertentu yang tidak relevan untuk diterapkan karena tidak berbasis kondisi obyektif, maka Tim Kerja Kajian Hukum bersama-sama Tim Kerja lainnya di bawah koordinasi FK THL TBPP NASIONAL akan mengupayakan langkah-langkah yang dapat mendorong Pemerintah untuk dapat merevisi ketentuan-ketentuan yang dimaksud pada PP No. 56 Tahun 2012.
Perkembangan Pengawalan Pembahasan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN)
RUU ASN yang mulai dibahas di Komisi II DPR RI sejak kurang lebih setahun sempat menyita perhatian dan harapan para THL TBPP. Bahkan perwakilan THL TBPP pada tingkat Pusat pernah diterima langsung oleh Menteri PAN-RB di Kantor KemenPAN-RB, Jakarta. Saat itu beliau menjelaskan bahwa tenaga-tenaga seperti THL TBPP akan diproyeksikan untuk menempati unsur PTT Pemerintah di dalam pengaturan RUU ASN. Dengan harapan bahwa suatu saat setelah beberapa lama mengabdi menjadi PTT Pemerintah akan muncul mekanisme alih status menjadi PNS, maka teman-teman ini menerima dengan terbuka penjelasan Pak Menteri. Namun seiring berjalannya waktu setelah itu perkembangan pembahasan RUU ASN seperti timbul tenggelam dan sulit untuk diikuti sejauh mana perkembangannya. Pada paruh kedua Pebruari 2013 misteri itu sedikit terkuak. Situs resmi KemenPAN-RB memuat dokumen bertanggal 11 Januari 2013 yang berisi Daftar Isian Masalah (DIM) menyangkut perbedaan beberapa poin ketentuan antara Draft RUU ASN versi DPR RI dan Usulan RUU ASN versi Pemerintah.
Secara umum keseluruhan ketentuan di dalam RUU ASN kedua versi tidak tersirat pengaturan rekrutmen khusus bagi tenaga-tenaga tertentu. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pak Menteri PAN-RB di atas bahwa tenaga-tenaga tertentu yang tidak tertampung di dalam PP No. 56 Tahun 2012 akan diarahkan untuk menjadi PTT Pemerintah (istilah dalam RUU ASN versi DPR RI) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK, istilah dalam RUU ASN versi Pemerintah). Nah, yang cukup mengejutkan adalah di RUU ASN versi Pemerintah terselip Pasal 99 A yang menegaskan bahwa PPPK tidak akan diangkat menjadi PNS. Dengan demikian dalam kehendak Pemerintah sudah jelas bahwa PPPK merupakan pegawai tidak tetap dengan status permanen.
Sikap dan Langkah FK THL TBPP NASIONAL Pasca Rakor Yogyakarta, 9 Maret 2013
Menyikapi ketidakjelasan perkembangan terakhir dan merespon dinamika berkembang di kalangan THL TBPP yang menghendaki percepatan langkah, maka FK THL TBPP mengadakan Rapat Koordinasi di Yogyakarta pada tanggal 9 Maret 2013. Rakor ini berhasil menyepakati pembentukan Tim-Tim Kerja dengan fokus dan lingkup kerja masing-masing dengan tetap di bawah koordinasi. Sejak saat itu hingga saat ini dan ke depan Tim-Tim telah dan akan terus bekerja dan saling berkoordinasi. Perkembangan terakhir arah perkembangan kerja Tim-Tim ini telah menyepakati 3 (tiga) hal :
1. Memperjuangkan implementasi amanat Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UUSP3K) khususnya yang menyangkut penetapan jenis-jenis penyuluh pertanian dan perihal pengangkatan dan penempatan penyuluh PNS yakni Pasal 20 ayat 2 beserta penjelasannya.
2. Memperjuangkan implementasi amanat Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Pasal 16 A dengan berpijak pada kondisi obyektif dan mencerminkan keadilan sesuai dengan perkembangan mutakhir dengan mendorong revisi terhadap beberapa ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2012 yang menghalangi terakomodasinya tenaga-tenaga yang dibutuhkan oleh Negara tapi tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di kalangan PNS - yang direkrut setelah tahun 2005.
3. Memperjuangkan THL TBPP melalui pendekatan terpadu dan saling melengkapi antar Tim Kerja agar komunitas tenaga penyuluh kontrak ini mendapatkan ruang pengaturan untuk dapat diangkat menjadi Penyuluh Pertanian PNS melalui mekanisme kebijakan khusus seperti Kepres atau Perpres.
Harapan Kepada Pemerintah
Bagi siapa saja yang mengikuti dan mencermati sejarah keberadaan THL TBPP sejak awal direkrut pasti bersepakat bahwa para penyuluh berstatus kontrak ini adalah produk kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I yang kemudian tetap dilanjutkan hingga periode KIB II yang hampir memungkasi masa kerjanya pada tahun 2014. Sebuah produk kebijakan bisa dianggap berhasil salah satunya dari indikator bagaimana penanganan akhir terhadap produk dimaksud. Jelasnya, untuk THL TBPP adalah bagaimana Pemerintah c.q segenap Kementerian Terkait mampu secara terkoordinasi memberikan jalan penyelesaian terbaik terhadap masa depan THL TBPP setelah masa waktu Kabinet ini berakhir.
Dengan membaca peta aliran kebijakan yang telah dipaparkan di atas kita berharap agar Kementerian Pertanian, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara dan bahkan bila perlu Menko Perekonomian bisa berkordinasi dan bersinergi untuk memberi ruang dan kesempatan yang adil dan patut bagi pengaturan kejelasan status kepegawaian THL TBPP. Jika diperlukan kita sangat berharap Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dapat turun tangan untuk mendorong percepatan penanganan penyelesaian status kepegawaian THL TBPP. Bagaimanapun Bapak Presiden telah mengenal siapa THL TBPP dan telah pernah memberikan stressing khusus kepada Mentan dan MenPAN-RB untuk mengatur sebaik-baiknya penanganan pasca kontak bagi THL TBPP untuk status kerja yang lebih baik.
Tekad komunitas THL TBPP telah bulat untuk tetap dan terus mengawal implementasi UUSP3K dan Undang-Undang terkait demi tersambungnya generasi penyuluh pertanian yang kuat dan adaptif dengan perkembangan teknologi komunikasi mutakhir yang harus menjadi basis baru proses-proses penyebaran informasi dan teknologi kepada para pelaku (petani).
Harapan Kepada Segenap THL TBPP se-Indonesia
Paparan ini bagaimanapun juga perlu disampaikan – meski tidak seluruh detil – kepada teman-teman THL TBPP se-Indonesia untuk menyamakan persepsi dan pemahaman menyangkut peta problematika yang kita hadapi bersama untuk kemudian menjadi landasan pengaturan langkah bersama yang terkoordinasi.
Waktu efektif kita bersama dalam mengawal program-program Pemerintah di bidang pertanian tidak sampai 2 (dua) tahun penuh. Setelah itu apa yang akan terjadi dengan nasib kita selanjutnya tidak ada pihak yang berani menjamin. Kita semua ibarat anak panah yang terpasang pada busur dan dikendalikan oleh sepasang tangan. Kita tidak tahu pasti ke arah mana kita hendak dibidikkan. Oleh karena itu satu-satunya jalan bagi kita adalah mengupayakan langkah menjemput bola dengan pertimbangan sejauh masih dapat dilakukan baik dari aspek teknis, konsepsi maupun aspek dukungan lainnya. Ketika perwakilan teman-teman di tingkat Pusat (FK THL TBPP NASIONAL) dengan dukungan Tim-Tim Kerja yang telah dibentuk – telah berupaya maksimal merancang dan mengarahkan segenap potensi demi pencapaian sebuah tujuan – yakni tujuan besar kita bersama, maka kini terpulang kepada segenap THL TBPP se-Indonesia untuk memberikan dukungan penuh lewat koordinasi secara berjenjang dan struktural via FK THL TBPP Kabupaten/Kota dan FK THL TBPP Provinsi masing-masing.
Man jadda wa jadda.
2 komentar:
memang RasuluLLah sudah menyampaikan hendaklah kita berusaha lalu bertawakkal....
kita tunggu saja seandainya akhir 2013/awal 2014 status kita masih kontrak (THL-TBPP)... mari kita lakukan shalaat jenazah di depan ISTANA NEGARA.. sebagaai wujud berkabung atas matinya nurani, buta dan tulinya pemerintahan SBY
LIHAT PENGUMUMAN CPNS KEMENTAN BIKIN SAKIT HATI.......
Posting Komentar